Sarkozy menjadi pemimpin pertama dari negara Uni Eropa yang dipenjara dan kepala negara Prancis pertama yang masuk penjara sejak era Perang Dunia II. Keputusan pengadilan untuk menjalankan hukuman segera, bahkan sebelum proses banding selesai, menjadi preseden yang belum pernah terjadi dalam sejarah hukum Prancis modern.
Vonis yang Menggemparkan Prancis
Pengadilan pidana Paris pada 25 September 2025 menjatuhkan vonis bersalah kepada Sarkozy atas tuduhan konspirasi kriminal. Hakim ketua, Nathalie Gavarino, menyatakan bahwa mantan presiden ini berusaha mendapatkan dana kampanye ilegal senilai jutaan euro dari mendiang diktator Libya, Muammar Gaddafi, untuk kampanye presidensial 2007 yang membuatnya menang.
Pengadilan menghukum Sarkozy dengan hukuman penjara lima tahun dan denda 100.000 euro. Jaksa penuntut menduga Sarkozy merancang kesepakatan korup dengan Gaddafi pada 2005 saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Prancis. Kesepakatan itu diduga berisi janji untuk memberikan bantuan diplomatik dan membantu memperbaiki citra internasional Libya sebagai imbalan dana kampanye.
"Sarkozy membiarkan orang-orang dekatnya menghubungi pejabat Libya untuk mendapatkan atau mencoba mendapatkan dukungan finansial dari Libya," kata Hakim Gavarino dalam putusannya. Pengadilan menekankan "tingkat keseriusan yang luar biasa" dari pelanggaran ini, sehingga memutuskan Sarkozy harus segera menjalani hukuman penjara meskipun ia berencana mengajukan banding.
Jejak Kasus yang Panjang
Kasus ini bermula dari investigasi yang dimulai pada 2013, dua tahun setelah Saif al-Islam Gaddafi, putra diktator Libya, secara terbuka menuduh Sarkozy menerima dana kampanye dari ayahnya. Dalam wawancara dengan Euronews pada Maret 2011, Saif al-Islam menuntut: "Sarkozy harus mengembalikan uang yang dia ambil dari Libya untuk membiayai kampanye pemilihannya. Kami yang mendanainya dan kami punya semua rinciannya."
Pengusaha Lebanon, Ziad Takieddine, yang menjadi perantara antara Prancis dan Libya, memberikan kesaksian mengejutkan pada November 2016. Ia mengaku kepada situs investigasi Prancis, Mediapart, bahwa dirinya secara pribadi mengantarkan tiga koper berisi uang tunai 5 juta euro kepada Sarkozy dan kepala stafnya, Claude Guéant, di Kementerian Dalam Negeri Prancis antara akhir 2006 dan awal 2007.
Takieddine mengklaim uang tersebut berasal dari Abdullah al-Senussi, kepala intelijen dan ipar Gaddafi. Senussi sendiri bersaksi di depan Mahkamah Pidana Internasional pada 2012 bahwa ia "secara pribadi mengawasi transfer" lima juta euro untuk kampanye Sarkozy.
Jaksa penuntut bahkan menduga total pendanaan dari Libya bisa mencapai 50 juta euro. Investigasi mengungkap bahwa kunjungan resmi Sarkozy ke Libya pada Oktober 2005 sebagai menteri dalam negeri menjadi momen ketika "metode pendanaan kampanye" diduga "disepakati".
Hubungan erat antara Sarkozy dan Gaddafi terlihat jelas ketika lima bulan setelah kemenangan pemilu 2007, Gaddafi melakukan kunjungan kenegaraan ke Paris—perjalanan pertamanya ke ibu kota Barat dalam bertahun-tahun. Sang diktator bahkan mendirikan tenda bergaya Badui di halaman Istana Élysée, kediaman resmi presiden Prancis.
Bebas dari Sebagian Tuduhan
Meski divonis bersalah atas konspirasi kriminal, pengadilan membebaskan Sarkozy dari tiga tuduhan lain: korupsi pasif, pendanaan kampanye ilegal, dan menyembunyikan penggelapan dana publik. Hakim Gavarino mengakui tidak ada cukup bukti untuk membuktikan bahwa Sarkozy benar-benar membuat kesepakatan formal dengan Gaddafi atau bahwa dana Libya benar-benar sampai ke kampanyenya.
Namun, menurut hukum Prancis, pakta korup tetap bisa dianggap kejahatan meskipun tidak ada uang yang ditukar atau terbukti ditransfer. Pengadilan menemukan bahwa konspirasi kriminal itu sendiri—upaya untuk mendapatkan pendanaan ilegal—sudah cukup untuk dijatuhkan hukuman.
Bukan Kali Pertama Berurusan dengan Hukum
Ini bukan pertama kalinya Sarkozy berurusan dengan pengadilan. Sejak meninggalkan jabatan pada 2012, ia telah menghadapi berbagai kasus korupsi, menjadikannya tokoh penting dalam sejarah peradilan Prancis.
Kasus Penyadapan/Korupsi (2021): Sarkozy menjadi mantan presiden Prancis pertama sejak Perang Dunia II yang menerima hukuman penjara ketika divonis bersalah atas korupsi dan perdagangan pengaruh. Ia terbukti mencoba menyuap hakim Gilbert Azibert pada 2014, menawarkan bantuan untuk mendapatkan posisi bergengsi di Monaco sebagai imbalan informasi rahasia tentang investigasi peradilan.
Kasus ini terungkap karena penyidik menemukan bukti melalui percakapan telepon yang disadap antara Sarkozy dan pengacaranya, Thierry Herzog. Keduanya menggunakan ponsel burner dengan Sarkozy memakai nama samaran "Paul Bismuth". Ia divonis tiga tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan, namun diizinkan menjalani hukuman di rumah dengan gelang pemantau elektronik. Pada Desember 2024, Mahkamah Agung Prancis menguatkan vonis ini.
Skandal Bygmalion (2024): Pada Februari 2024, pengadilan banding mengonfirmasi hukuman Sarkozy atas pendanaan kampanye ilegal terkait upaya pemilihan kembali yang gagal pada 2012. Ia menerima hukuman penjara satu tahun dengan enam bulan masa percobaan. Kasus ini melibatkan tuduhan bahwa partai konservatifnya berkolusi dengan perusahaan PR bernama Bygmalion untuk menyembunyikan biaya sebenarnya dari kampanyenya—yang menampilkan acara-acara mewah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Prancis—sehingga ia bisa melampaui batas pengeluaran legal sebesar 22,5 juta euro.
Kehidupan di Balik Jeruji Besi
Sarkozy tiba di Penjara La Santé pada pagi hari 21 Oktober 2025, ditemani istri tercintanya, penyanyi dan mantan supermodel Carla Bruni-Sarkozy. Puluhan pendukung mengelilingi mereka, menyanyikan "Bebaskan Nicolas" dan lagu kebangsaan Prancis.
Saat ditransfer ke penjara, Sarkozy menulis di media sosial: "Yang dipenjara pagi ini bukan mantan presiden republik, tetapi orang yang tidak bersalah. Kebenaran akan menang."
Mantan pemimpin berusia 70 tahun ini ditahan di sel berukuran sembilan meter persegi (sekitar 95 kaki persegi) di sayap isolasi atau "VIP" penjara, terpisah dari populasi tahanan umum karena alasan keamanan. Dalam isolasi, ia diizinkan berjalan sendirian satu kali sehari di halaman kecil dan bisa menerima kunjungan tiga kali seminggu.
Selnya dilengkapi dengan tempat tidur, meja, pancuran, toilet, kompor listrik kecil, dan televisi—yang harus ia bayar 14 euro per bulan. Untuk perlindungannya, Sarkozy dijaga dua petugas polisi bersenjata yang ditempatkan di sel tetangga, keputusan yang memicu keluhan dari serikat petugas penjara.
Kurang dari 24 jam setelah kedatangannya, ancaman pembunuhan terhadapnya dilakukan oleh narapidana lain dan terekam video. Hal ini mendorong jaksa membuka investigasi dan menginterogasi tiga narapidana.
Penjara La Santé, yang dibuka pada 1867, telah menampung banyak tahanan terkenal sepanjang sejarahnya, termasuk militan kiri Carlos the Jackal dan mantan pemimpin Panama, Manuel Noriega. Fasilitas ini telah mengalami renovasi besar dalam beberapa tahun terakhir, dengan setiap sel kini dilengkapi pancuran dan telepon rumah sendiri.
Proses Banding dan Harapan Pembebasan
Tim hukum Sarkozy mengajukan permohonan pembebasan bersyarat segera setelah ia dipenjara pada 21 Oktober. Pengadilan Banding memiliki waktu hingga dua bulan untuk meninjau permohonan ini. Para pengacaranya menyatakan mereka berharap permohonan akan ditinjau dalam waktu sekitar sebulan dan berharap mengamankan pembebasannya pada Natal.
Namun, masih belum pasti berapa lama ia akan tetap dipenjara—perkiraan menunjukkan minimal tiga minggu hingga satu bulan di balik jeruji besi. Sidang banding sudah dijadwalkan pada Maret 2026.
Sarkozy secara konsisten mempertahankan ketidakbersalahannya sepanjang semua proses peradilan. Ia menggambarkan kasus Libya sebagai pembalasan yang bermotif politik oleh asosiasi Gaddafi karena dukungannya terhadap pemberontakan 2011 yang menggulingkan rezim Libya.
Makna Historis
Penahanan Sarkozy merupakan momen bersejarah dalam politik Prancis. Ia adalah pemimpin Prancis pertama yang dipenjara sejak Marsekal Philippe Pétain, kepala negara kolaborasionis Nazi yang dipenjara karena pengkhianatan setelah Perang Dunia II. Ia juga mantan kepala negara Uni Eropa pertama yang dipenjara.
Awal tahun ini, Sarkozy juga dilucuti dari Legion of Honor, penghargaan tertinggi Prancis.
Kasus ini telah memicu perdebatan sengit di seluruh Prancis. Hakim-hakim yang terkait dengan kasus Libya telah menjadi sasaran pelecehan di media sosial, dengan beberapa menerima ancaman pembunuhan. Jaksa publik Paris, Laure Beccuau, mengutuk apa yang ia gambarkan sebagai "luapan kebencian" dan mengonfirmasi bahwa investigasi sedang berlangsung.
Terlepas dari masalah hukumnya, Sarkozy terus memiliki pengaruh besar dalam lingkaran politik sayap kanan Prancis, sebagian karena pernikahannya yang menonjol dengan Bruni-Sarkozy. Ia telah mendukung Presiden Emmanuel Macron selama pemilihan terakhir dan bertemu dengan Macron sesaat sebelum memasuki penjara.
Sarkozy mengatakan kepada surat kabar Le Figaro bahwa ia membawa biografi Yesus dan salinan "The Count of Monte Cristo"—novel terkenal karya Alexandre Dumas tentang seorang pria tak bersalah yang dipenjara secara keliru dan melarikan diri untuk membalas dendam.
"Jika mereka benar-benar ingin saya tidur di penjara, saya akan tidur di penjara, tetapi dengan kepala tegak. Saya tidak bersalah. Ketidakadilan ini adalah skandal," tegasnya.

Komentar
Posting Komentar