Kesepakatan nuklir Iran dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara dunia kembali memanas. Setelah bertahun-tahun di ambang kehancuran, pejabat Iran kini secara terbuka mengancam akan melakukan sabotase terhadap perjanjian tersebut jika AS tidak memenuhi kewajibannya. Bagaimana situasi terkini, dan mengapa ancaman ini penting untuk diwaspadai? Simak analisis lengkapnya!
Latar Belakang: JCPOA yang Terus Diterpa Krisis
Kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015 dirancang untuk membatasi program nuklir Iran sebagai ganti pencabutan sanksi ekonomi. Namun, sejak AS menarik diri pada 2018 di era Trump, hubungan kedua negara terus memanas. Iran pun mulai meningkatkan pengayaan uranium hingga 60%—jauh di atas batas 3,67% yang diizinkan JCPOA.
Meski perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan sempat mengemuka di era Biden, kebuntuan masih terjadi. Iran menuntut jaminan AS tidak akan keluar lagi dari perjanjian, sementara AS ingin pembatasan ketat terhadap program rudal dan militer Teheran.
Ancaman Terbaru Iran: "Kami Punya Opsi Lain"
Pada 25 September 2023, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian menyatakan bahwa negaranya "tidak akan diam" jika AS terus mengulur-ulur komitmenya. "Jika Barat berpikir bisa mengabaikan hak-hak kami, mereka salah. Kami punya kapasitas untuk merespons," tegasnya dalam konferensi pers di New York, dikutip dari Reuters.
Pernyataan ini muncul setelah laporan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) yang mengungkap bahwa Iran masih menyimpan stok uranium berkadar tinggi. Para analis, seperti diungkap Al Jazeera, mewanti-wanti bahwa ancaman "sabotase" bisa berarti:
Meningkatkan pengayaan uranium ke tingkat senjata (90%).
Membatasi akses inspektur IAEA.
Menyokong kelompok militer di Timur Tengah untuk menekan AS.
Mengapa Ancaman Ini Serius?
Krisis Energi Global: Jika JCPOA gagal, sanksi minyak Iran akan tetap berlaku. Padahal, pasar membutuhkan pasokan minyak Iran untuk menstabilkan harga akibat perang Rusia-Ukraina.
Proliferasi Nuklir: Jika Iran benar-benar membuat bom, negara-negara seperti Arab Saudi dan Turki bisa ikut mengembangkan senjata nuklir.
Ketegangan Regional: Ancaman Iran berpotensi memicu konflik dengan Israel, yang sebelumnya disebut The New York Times telah melakukan serangan siber ke fasilitas nuklir Iran.
Respons AS dan Sekutu: Tetap Waspada
AS melalui Jubir Departemen Luar Negeri Matthew Miller menyebut bahwa "pintu diplomasi masih terbuka, tetapi waktu tidak tak terbatas." Sementara itu, Eropa dilaporkan oleh BBC sedang mempertimbangkan opsi sanksi tambahan jika Iran terus mengabaikan peringatan.
Di sisi lain, Rusia dan China—dua anggota JCPOA—terus mendorong negosiasi. Keduanya menuding AS sebagai biang keladi krisis ini.
Apa yang Bisa Terjadi Selanjutnya?
Skenario Terbaik: AS memberi insentif ekonomi (seperti pencairan aset Iran di luar negeri) agar Iran kembali mematuhi JCPOA.
Skenario Terburuk: Iran mencapai kemampuan bom nuklir dalam hitungan minggu, memicu perlombaan senjata di Timur Tengah.
Kata Ahli: "Kedua Pihak Harus Turunkan Ego"
Dr. Sanam Vakil dari Chatham House menegaskan bahwa "krisis ini hanya bisa diatasi jika AS fleksibel dalam sanksi dan Iran transparan soal nuklir." Tanpa kompromi, dunia mungkin menghadapi babak baru ketidakstabilan.
Mengapa Kita Perlu Peduli?
Ancaman sabotase Iran bukan cuma urusan AS atau Timur Tengah. Guncangan energi, risiko perang nuklir, dan tensi geopolitik bisa berdampak global—termasuk pada harga BBM dan keamanan Indonesia. Pantau terus perkembangannya!
Komentar
Posting Komentar