Virus West Nile yang disebarkan nyamuk telah menginfeksi 652 orang di sembilan negara Eropa pada 2025, dengan Italia mencatat 500 kasus dan 32 kematian. Para ahli memperingatkan perubahan iklim dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit ini hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Eropa saat ini menghadapi wabah Virus West Nile (West Nile Virus/WNV) yang mengkhawatirkan. Data terbaru dari European Food Safety Authority (EFSA) menunjukkan bahwa hingga 3 September 2025, sedikitnya 652 kasus infeksi West Nile virus yang diperoleh secara lokal telah dilaporkan dari 9 negara di Eropa.
Italia menjadi negara yang paling terdampak dengan mencatat 500 kasus terkonfirmasi dan 32 kematian, menghasilkan tingkat kematian 6,4 persen. Wilayah yang paling parah terkena dampak adalah Lazio dengan 218 kasus di Latina, Roma, dan Frosinone, serta Campania dengan 106 kasus di Napoli, Caserta, Salerno, dan Avellino.
Penyebaran Meluas ke Sembilan Negara Eropa
Selain Italia, negara-negara lain yang terkena dampak termasuk Yunani (69 kasus), Serbia (33 kasus), Prancis (20 kasus), Rumania (15 kasus), Hongaria (6 kasus), Spanyol (5 kasus), Albania (3 kasus), dan Bulgaria (1 kasus). Yunani bahkan melaporkan 83 kasus domestik dengan 68 menunjukkan manifestasi sistem saraf pusat dan 7 kematian hingga 17 September 2025.
Yang mengkhawatirkan adalah tren ekspansi geografis virus ini ke utara Eropa. Jerman dan Slovakia melaporkan kasus autochthonous (penularan lokal) pertama pada manusia di tahun 2019, sementara Polandia melaporkan kasus pertama yang diperoleh secara lokal pada 2024. Belanda mengalami kasus manusia pertamanya pada 2020.
"Ekspansi ini menunjukkan kemampuan virus untuk menetap di wilayah yang sebelumnya tidak terdampak," ungkap peneliti dalam laporan European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC).
Apa Itu Virus West Nile?
Virus West Nile adalah virus RNA beruntai tunggal yang terselubung, termasuk dalam keluarga Flaviviridae. Virus ini berkerabat dekat dengan virus penyebab demam dengue, demam kuning, dan Zika. Awalnya diidentifikasi di Afrika, virus ini kini telah menyebar secara global dan hadir di sebagian besar dunia, termasuk Amerika Utara, Eropa, dan Asia.
Virus ini beroperasi melalui siklus penularan kompleks yang melibatkan burung sebagai inang primer dan nyamuk sebagai vektor. Spesies nyamuk Culex pipiens menjadi vektor utama penularan virus West Nile di Eropa. Ketika nyamuk memakan darah burung yang terinfeksi, virus beredar dalam darah mereka selama beberapa hari sebelum mencapai kelenjar ludah nyamuk.
Selama makan darah berikutnya, nyamuk yang terinfeksi dapat menularkan virus kepada manusia, kuda, dan mamalia lain, yang dianggap sebagai "inang buntu" karena tingkat virus yang rendah dalam darah mereka.
Gejala dan Dampak pada Kesehatan
Sekitar 80 persen orang yang terinfeksi virus West Nile tetap tanpa gejala, sementara sekitar 20 persen mengembangkan gejala ringan mirip flu, termasuk demam, sakit kepala, nyeri tubuh, mual, muntah, dan kadang-kadang ruam kulit.
Kasus yang paling mengkhawatirkan melibatkan penyakit neuroinvasif parah, yang mempengaruhi kurang dari 1 persen individu yang terinfeksi (sekitar 1 dari 150 orang). Bentuk parah ini dapat menyebabkan ensefalitis, meningitis, atau kelumpuhan flaksid akut, dengan gejala termasuk demam tinggi, kekakuan leher, disorientasi, kelemahan otot, dan kelumpuhan.
Di antara mereka yang mengembangkan penyakit sistem saraf pusat yang parah, sekitar 10 persen mengalami hasil yang fatal.
Perubahan Iklim Sebagai Faktor Kunci
Perubahan iklim secara fundamental mengubah pola geografis dan temporal penularan virus West Nile dengan memperluas habitat yang cocok untuk nyamuk Culex pipiens. Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan WNV dimungkinkan antara 14°C dan 34,3°C, dengan penularan optimal terjadi pada 23,7°C.
Virus dapat menginfeksi nyamuk Culex pada suhu serendah 18°C, tetapi suhu yang lebih tinggi secara signifikan mempercepat perkembangan dan penularan virus. Spesies nyamuk Culex berkembang antara sekitar 11°C dan 35°C, dengan tingkat perkembangan yang lebih cepat dan musim aktif yang lebih lama pada suhu yang lebih tinggi.
Kenaikan suhu mempengaruhi penularan virus West Nile melalui berbagai mekanisme yang saling terkait: peningkatan suhu menyebabkan percepatan perkembangan nyamuk, interval yang lebih pendek antara makan darah, periode inkubasi virus yang berkurang pada nyamuk, dan tingkat replikasi virus yang meningkat.
Prediksi Peningkatan Risiko Lima Kali Lipat
Studi pemodelan matematika memproyeksikan peningkatan risiko virus West Nile hingga 5 kali lipat untuk periode 2040-2060 di Eropa, tergantung pada wilayah geografis dan skenario iklim. Model menunjukkan bahwa risiko penularan yang didorong iklim dari nyamuk akan meningkat secara substansial, bahkan dalam jangka pendek, untuk sebagian besar Eropa.
Eropa telah melihat 27 wabah chikungunya sejauh ini pada 2025, rekor baru untuk benua tersebut, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk.
Implikasi untuk Indonesia dan Asia Tenggara
Meskipun wabah saat ini terfokus di Eropa, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya perlu mewaspadai potensi penyebaran virus ini. Virus West Nile telah didokumentasikan di Indonesia dari spesimen penyakit demam akut yang dikumpulkan di Jawa pada 2004-2005, menunjukkan bahwa virus ini sudah pernah hadir di wilayah Indonesia.
Iklim tropis Indonesia dengan suhu dan kelembaban tinggi sepanjang tahun menciptakan kondisi ideal bagi berkembangbiaknya nyamuk vektor. Dengan meningkatnya suhu global akibat perubahan iklim, risiko penularan virus West Nile dan penyakit yang ditularkan nyamuk lainnya di Indonesia dapat meningkat secara signifikan.
Para ahli menekankan pentingnya sistem surveillans yang kuat untuk mendeteksi kehadiran virus ini secara dini. "Indonesia memiliki keragaman biologis yang sangat tinggi dan iklim tropis yang mendukung berbagai spesies nyamuk," ungkap peneliti dalam studi tentang infeksi virus akut endemik dan emerging di Indonesia.
Musim Penularan yang Semakin Panjang
Di Eropa, sebagian besar kasus virus West Nile terjadi antara Juli dan Oktober, dengan infeksi puncak biasanya pada bulan Agustus. Namun, perubahan iklim memperpanjang musim penularan, dengan kasus sekarang terdeteksi sejak awal Maret di Italia utara dan berlanjut hingga November.
Musim 2022 melihat kasus yang diperoleh secara lokal yang sangat awal dilaporkan di Italia, dengan onset penyakit pada 16 April 2022. Suhu tinggi pada bulan Mei telah diidentifikasi memiliki dampak yang sangat penting pada dinamika penularan WNV sepanjang seluruh musim.
Faktor Lingkungan Lainnya
Meskipun suhu adalah pendorong utama, faktor terkait iklim lainnya juga mempengaruhi populasi nyamuk dan penularan virus. Faktor-faktor seperti suhu tanah, kelembaban relatif, kandungan air tanah, dan kecepatan angin merupakan pendorong penting epidemiologi WNV.
Curah hujan sedang dapat menciptakan tempat berkembang biak, sementara curah hujan berlebihan, kelembaban tinggi, dan angin kencang dapat mengurangi kelimpahan nyamuk dan mengurangi risiko penularan.
Efek pulau panas perkotaan berkontribusi pada peningkatan risiko penularan di daerah metropolitan, di mana suhu konsisten lebih tinggi daripada daerah pedesaan sekitarnya. Fenomena ini membuat kota-kota sangat rentan terhadap musim penularan yang diperpanjang dan tingkat infeksi yang lebih tinggi.
Langkah Pencegahan dan Pengawasan
Upaya pengawasan dan pengendalian saat ini berfokus pada pendekatan terpadu termasuk pemantauan nyamuk, pengawasan burung, deteksi kasus manusia, dan tindakan pengendalian vektor yang ditargetkan. Namun, jangkauan geografis yang meluas dan musim penularan yang diperpanjang menimbulkan tantangan berkelanjutan bagi otoritas kesehatan masyarakat di seluruh Eropa.
Untuk Indonesia, penting untuk memperkuat sistem deteksi dini dan pengawasan penyakit yang ditularkan nyamuk. Langkah-langkah pencegahan individu seperti menggunakan repelen nyamuk, mengenakan pakaian lengan panjang saat beraktivitas di luar ruangan pada waktu senja dan fajar, serta menghilangkan genangan air di sekitar rumah menjadi krusial.
Tantangan Masa Depan
Kombinasi kehadiran virus West Nile yang mapan di berbagai wilayah dan perubahan iklim yang berkelanjutan menciptakan skenario kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan. Virus telah menunjukkan kemampuannya untuk memperluas ke wilayah geografis baru, menetapkan sirkulasi endemik, dan menyebabkan wabah besar secara berkala ketika kondisi menguntungkan.
Seiring dengan terus meningkatnya suhu global dan kejadian cuaca ekstrem menjadi lebih sering, risiko wabah virus West Nile yang lebih luas dan parah diperkirakan akan meningkat secara signifikan, tidak hanya di Eropa tetapi juga di wilayah tropis seperti Asia Tenggara.
Kesimpulan
Wabah virus West Nile di Eropa pada 2025 menjadi pengingat penting bahwa perubahan iklim dapat secara dramatis mengubah pola penyakit menular. Dengan lebih dari 650 kasus dan puluhan kematian yang dilaporkan, wabah ini menunjukkan urgensi kesiapsiagaan global dalam menghadapi ancaman penyakit yang ditularkan vektor.
Bagi Indonesia, meskipun belum ada wabah besar yang dilaporkan, kehadiran virus ini di masa lalu dan kondisi iklim yang mendukung perkembangbiakan nyamuk menuntut kewaspadaan tinggi. Investasi dalam sistem pengawasan, penelitian, dan kesiapsiagaan kesehatan masyarakat menjadi kunci untuk mencegah dan mengendalikan potensi wabah di masa depan.
Kolaborasi internasional dalam berbagi informasi, teknologi deteksi, dan strategi pengendalian akan sangat penting dalam menghadapi tantangan global ini. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan koordinasi yang baik, dunia dapat bersiap menghadapi era baru penyakit menular yang dipicu oleh perubahan iklim.
Komentar
Posting Komentar