Insiden mengejutkan itu terjadi pada Selasa sore, 11 November 2025, di Prefektur Otonomi Tibet dan Qiang Ngawa Aba, Provinsi Sichuan, China barat daya. Jembatan sepanjang 758 meter yang dijuluki "Jembatan di Awan" itu runtuh setelah diterjang longsor dahsyat akibat hujan lebat berkepanjangan.
Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam tragedi ini. Kepolisian kota Maerkang telah menutup akses jembatan sejak Senin sore, sehari sebelum kejadian, setelah petugas menemukan tanda-tanda bahaya.
Tanda Bahaya yang Tepat Waktu
Kewaspadaan petugas kepolisian Maerkang terbukti menyelamatkan nyawa. Pada 10 November, mereka mendeteksi adanya retakan selebar 10 sentimeter pada struktur jembatan dan lereng di sekitarnya. Tak hanya itu, terlihat pula deformasi medan di sisi gunung yang berdekatan dengan jembatan.
Penutupan dilakukan setelah petugas menemukan retakan di lereng dan permukaan jalan di sekitar lokasi, serta tanda-tanda pergeseran tanah di medan pegunungan, demikian keterangan pemerintah setempat seperti dilansir Kompas.com.
Langkah cepat ini memungkinkan evakuasi total terhadap kendaraan yang sempat terjebak di jembatan. Bahkan seorang pengemudi truk berhasil diselamatkan tepat saat jembatan mulai roboh.
Namun keesokan harinya, kondisi lereng gunung terus memburuk. Hujan deras yang mengguyur wilayah itu memicu longsor masif yang menghantam pilar penyangga dan jalan pendekat jembatan. Dalam sekejap, struktur beton yang kokoh itu ambruk ke sungai di bawahnya, meninggalkan awan debu raksasa dan puing-puing berserakan.
Proyek Infrastruktur Prestisius yang Berumur Pendek
Jembatan Hongqi bukanlah proyek sembarangan. Dibangun oleh Sichuan Road & Bridge Group dengan biaya mencapai 300 juta yuan (sekitar Rp 656 miliar), jembatan ini baru diresmikan pada April 2025 setelah konstruksi selesai pada awal tahun yang sama.
Jembatan ini menjadi penghubung vital antara wilayah tengah China dengan Tibet, bagian dari jaringan jalan raya nasional yang strategis. Dengan ketinggian 172 meter di atas dasar lembah, jembatan ini menawarkan pemandangan spektakuler yang membuatnya mendapat julukan "Jembatan di Awan".
Namun keindahan dan prestise itu sirna dalam sekejap. Video-video yang beredar di platform X (Twitter), Instagram, dan media sosial lainnya menunjukkan momen dramatis saat struktur jembatan terputus dan jatuh bersama longsoran batu besar ke aliran sungai.
Setelah insiden, Sichuan Road & Bridge Group segera menghapus materi promosi jembatan dari situs webnya, menyusul gelombang kritik publik yang menyoroti kualitas pembangunan infrastruktur di China.
Geologi Berbahaya dan Faktor Pemicu
Lokasi Jembatan Hongqi berada di salah satu wilayah paling rawan bencana geologis di China. Prefektur Ngawa Aba terletak langsung di atas jalur patahan tektonik aktif yang sangat rentan terhadap gempa bumi dan longsor.
Kawasan ini pernah mengalami trauma besar saat Gempa Sichuan 2008 yang menewaskan lebih dari 70.000 orang. Data pemerintah setempat mengungkap fakta mengkhawatirkan: 70 persen wilayah Prefektur Aba membawa risiko tersembunyi longsor dan aliran debris.
Laporan Penilaian Risiko Geologis 2024 dari Stasiun Pemantauan Geologis Provinsi Sichuan bahkan telah mengklasifikasikan Cekungan Sungai Dadu—tempat jembatan berdiri—sebagai "area berisiko tinggi untuk bencana geologis".
Menurut ahli geologi, dari rekaman visual terlihat jelas bahwa lereng tempat jembatan dibangun memiliki riwayat tanah longsor. Pertanyaan yang muncul: mengapa lokasi dengan risiko tinggi ini tetap dipilih untuk pembangunan infrastruktur vital?
Komplikasi Bendungan Hidroelektrik
Faktor lain yang memperumit situasi adalah kedekatan jembatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air Shuangjiangkou, bendungan hidroelektrik tertinggi di dunia dengan ketinggian 315 meter. Bendungan ini baru saja menyelesaikan pengisian waduk pada 1 Mei 2025, hanya beberapa bulan sebelum jembatan runtuh.
Para ahli geoteknik mencatat bahwa waduk hidroelektrik besar diketahui dapat memicu gempa bumi dan menyebabkan rembesan melalui massa batuan, yang berpotensi menurunkan kekuatan batuan dan mendestabilisasi lereng. Fluktuasi ketinggian air dari waduk juga dapat berkontribusi pada perubahan tekanan bawah permukaan yang mempengaruhi lereng penyangga jembatan.
Pola Sistemik Kegagalan Infrastruktur
Runtuhnya Jembatan Hongqi bukanlah kasus terisolasi. Dalam beberapa tahun terakhir, China mengalami serangkaian kegagalan infrastruktur yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang kualitas pembangunan di negara itu.
Pada Agustus 2025, sebuah jembatan kereta di Provinsi Qinghai runtuh dan menewaskan 12 pekerja konstruksi. Juni lalu, seorang pengemudi truk di Sichuan tergantung di udara saat longsor mempengaruhi jembatan lain. Bahkan pada Mei 2025, jalan raya di Provinsi Guangdong ambruk setelah hujan deras, menewaskan 52 orang.
Yang paling mengkhawatirkan, pada November 2025, sebuah jalan raya di Provinsi Yunnan rusak parah setelah hujan lebat. Bagian-bagian jalan itu terbelah dan runtuh hanya tiga tahun setelah beroperasi, meskipun dibangun dengan investasi 13,9 miliar yuan.
Insiden-insiden ini memicu perdebatan publik tentang konsep "proyek tahu basi" (tofu-dreg projects)—istilah slang untuk konstruksi abal-abal yang ditandai dengan material murah dan pemotongan biaya.
Akar Masalah Sistemik
Wu Xiaoping, pengacara hak asasi manusia China yang mewakili klien di sektor konstruksi negara itu, mengungkap praktik-praktik bermasalah:
"Subkontrak yang merajalela mendorong penggunaan material di bawah standar secara luas. Setiap lapisan kontraktor semakin memangkas biaya," ungkapnya.
Lebih jauh, Wu mencatat bahwa inspektur dan regulator sering menerima suap atau hanya melakukan pemeriksaan superfisial, memungkinkan cacat jangka panjang muncul bertahun-tahun setelah proyek selesai.
Para ahli mengidentifikasi beberapa kerentanan sistemik dalam sektor infrastruktur China:
- Risiko geoteknik yang diremehkan: Survei geologis komprehensif sering diabaikan demi mengejar tenggat waktu konstruksi yang cepat
- Kesenjangan pengawasan: Kegagalan dalam memantau dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi secara memadai
- Kekhawatiran kualitas material: Skeptisisme publik yang persisten tentang penggunaan material di bawah standar dalam proyek-proyek yang didorong oleh pertimbangan biaya
- Sistem perlindungan lereng yang tidak memadai: Terutama di area rawan longsor
- Praktik subkontrak: Memungkinkan pemotongan biaya di berbagai tingkatan, memaksa kontraktor final mengurangi kualitas
Perspektif Teknik: Bagaimana Mencegahnya
Dari sudut pandang teknik geoteknik, meskipun longsor tidak selalu dapat dicegah, dampaknya terhadap jembatan dapat dikelola melalui pertahanan berlapis. Praktik terbaik untuk koridor pegunungan meliputi:
1. Sistem drainase yang kokoh dan perlindungan kaki lereng untuk menstabilkan lereng
2. Sistem penahan berlabuh dan jaring penangkap batu untuk mencegah reruntuhan
3. Saluran aliran debris dan strategi pengelolaan lereng untuk mengalihkan material longsor
4. Pemantauan berkelanjutan menggunakan inklinometer, GNSS (Global Navigation Satellite System), dan teknologi InSAR untuk mendeteksi pergerakan skala milimeter sebelum kegagalan kritis
Konsep kunci dalam teknik geoteknik adalah Faktor Keamanan (FS), yang dihitung sebagai rasio gaya penahan terhadap gaya pendorong. Risiko kegagalan meningkat tajam ketika FS mendekati 1,0 akibat lonjakan beban hujan atau seismik.
Para insinyur profesional menekankan bahwa kegagalan kritis sering terjadi bukan pada bentang utama yang ikonik, melainkan pada struktur pendekat yang bertumpu di lereng bukit yang dapat berubah setelah badai atau gempa.
Seorang ahli menyatakan bahwa "proyek-proyek besar seperti ini sebenarnya tidak pernah murni masalah teknis—mereka adalah masalah politik", menggarisbawahi kompleksitas di balik kegagalan infrastruktur.
Investigasi dan Respons Regulasi
Otoritas China telah meluncurkan penyelidikan formal terhadap keruntuhan tersebut, dengan tim teknik dikirim untuk menilai faktor struktural dan geologis. Pemerintah setempat menyatakan komitmen untuk melakukan penyelidikan yang transparan dan menyeluruh.
Menanggapi insiden ini dan kekhawatiran publik yang meningkat, otoritas China telah memberi sinyal potensi reformasi regulasi yang memprioritaskan transparansi dalam proyek infrastruktur. Penekanan diberikan pada peningkatan inspeksi keselamatan dan pengungkapan publik penilaian risiko geologis.
Namun, efektivitas reformasi ini masih belum pasti. Perusahaan-perusahaan konstruksi mungkin menghadapi biaya operasional yang lebih tinggi dan jadwal proyek yang lebih panjang karena kepatuhan menjadi lebih ketat.
Implikasi Luas untuk Ambisi Infrastruktur China
Keruntuhan Jembatan Hongqi menimbulkan pertanyaan fundamental tentang keberlanjutan strategi ekspansi infrastruktur cepat China. Meskipun pembangunan infrastruktur sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan menghubungkan wilayah-wilayah terpencil, insiden ini mengekspos ketegangan antara kecepatan dan keselamatan, terutama di area geologis yang kompleks.
Bagi investor, keruntuhan ini menggarisbawahi perlunya kerangka manajemen risiko yang kuat saat mengevaluasi perusahaan konstruksi yang beroperasi di zona risiko geologis tinggi. Pengamat internasional mencatat bahwa insiden semacam itu dapat mempengaruhi persepsi global tentang keahlian teknik China, khususnya terkait Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang mempromosikan keahlian infrastruktur China secara internasional.
Jalur Transportasi Terputus
Runtuhnya Jembatan Hongqi mengakibatkan terputusnya jalur transportasi utama antara dataran Sichuan dan Tibet. Hingga kini, belum ada perkiraan waktu kapan jalan raya tersebut akan dibuka kembali.
Terputusnya konektivitas ini tidak hanya berdampak pada arus barang dan manusia, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi kedua wilayah. Tibet, sebagai wilayah yang relatif terisolasi, sangat bergantung pada jalur darat ini untuk akses ke wilayah lainnya.
Pelajaran untuk Indonesia
Tragedi Jembatan Hongqi memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia yang juga tengah gencar membangun infrastruktur di wilayah-wilayah dengan kondisi geologis menantang. Beberapa poin penting yang dapat dipetik:
Pertama, pentingnya survei geologis yang komprehensif sebelum menentukan lokasi pembangunan, terutama di wilayah rawan bencana seperti zona patahan aktif atau lereng tidak stabil.
Kedua, sistem pemantauan berkelanjutan terhadap kondisi infrastruktur dan lingkungan sekitarnya harus dipasang sejak awal. Teknologi pemantauan modern dapat mendeteksi perubahan sekecil apa pun yang mengindikasikan bahaya.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap proyek infrastruktur, dari perencanaan hingga pemeliharaan, harus dijaga ketat untuk mencegah praktik-praktik koruptif atau pemotongan biaya yang membahayakan keselamatan.
Keempat, kecepatan pembangunan tidak boleh mengorbankan aspek keselamatan dan kualitas. Proyek yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan seluruh aspek teknis dan geologis dapat berujung pada bencana.
Kesimpulan
Insiden Jembatan Hongqi berfungsi sebagai pengingat kritis bahwa proyek infrastruktur di wilayah pegunungan yang aktif secara seismik memerlukan penilaian geoteknik yang ketat, protokol keselamatan transparan, keahlian teknik canggih, dan pemantauan berkelanjutan sepanjang siklus hidup struktur—bukan hanya selama konstruksi awal.
Dalam era pembangunan infrastruktur masif, baik di China maupun negara-negara berkembang lainnya, keseimbangan antara ambisi ekonomi dan standar keselamatan teknik tidak boleh dikompromikan. Nyawa manusia dan keberlanjutan investasi publik bergantung pada komitmen terhadap prinsip-prinsip teknik yang sehat dan pengawasan yang ketat.
Pertanyaan yang kini menggantung: akankah tragedi ini menjadi titik balik bagi reformasi sejati dalam sektor konstruksi China, ataukah hanya akan menjadi satu lagi dalam daftar panjang insiden yang terlupakan seiring berjalannya waktu?

Komentar
Posting Komentar