Trump Luncurkan Rencana Perdamaian 20 Poin untuk Akhiri Perang Gaza, Hamas Diberi Ultimatum 3-4 Hari
Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menyebut rencananya sebagai "potentially one of the great days ever in civilization" atau berpotensi menjadi salah satu hari terbesar dalam peradaban. Namun, keberhasilan rencana ini sangat bergantung pada respons Hamas yang diberi tenggat waktu ketat.
Poin-Poin Kunci Rencana Perdamaian
Gencatan Senjata dan Pertukaran Sandera
Komponen pertama dan paling mendesak adalah penghentian segera permusuhan setelah kedua belah pihak menyetujui kesepakatan. Yang menjadi sorotan, dalam waktu 72 jam setelah Israel secara resmi menerima perjanjian, Hamas harus mengembalikan semua sandera Israel—baik yang masih hidup maupun jenazah mereka.
Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 250 tahanan Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup dan 1.700 warga Palestina yang ditahan sejak 7 Oktober 2023, termasuk seluruh perempuan dan anak-anak. Untuk setiap jenazah sandera Israel yang dikembalikan, Israel akan membalas dengan mengembalikan 15 jenazah warga Palestina.
Mekanisme pertukaran ini dirancang untuk menyelesaikan salah satu isu paling sensitif dalam konflik ini—nasib ratusan sandera yang ditawan Hamas sejak serangan Oktober 2023.
Transformasi Gaza: Zona Bebas Teror
Rencana Trump memproyeksikan transformasi radikal Gaza menjadi "zona bebas teror yang dideradikalisasi" yang tidak akan mengancam kawasan sekitarnya. Untuk mencapai tujuan ini, wilayah tersebut akan dikelola sementara oleh komite Palestina non-politik di bawah pengawasan badan internasional bernama "Board of Peace" atau Dewan Perdamaian.
Yang mengejutkan, Trump sendiri akan memimpin dewan ini, bersama mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Keputusan melibatkan Blair menuai kontroversi mengingat perannya dalam Perang Irak yang hingga kini masih diperdebatkan.
Poin krusial dalam rencana ini: Hamas akan sepenuhnya dikecualikan dari peran pemerintahan apa pun di Gaza. Ini merupakan tuntutan yang sangat sulit bagi kelompok yang selama ini menguasai wilayah tersebut.
Pasukan Stabilisasi Internasional
Sebuah Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang dipimpin oleh negara-negara Arab akan dibentuk untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan saat pasukan Israel secara bertahap menarik diri. ISF ini akan melatih pasukan polisi Palestina dan memastikan koordinasi keamanan dengan Israel dan Mesir.
Namun, hingga kini belum ada negara Arab yang secara konkret menyatakan kesediaan mengirim pasukan, meski rencana tersebut mengharuskan kepemimpinan mereka. Ini menjadi salah satu kelemahan implementasi yang disoroti para analis.
Pelucutan Senjata dan Amnesti Hamas
Salah satu persyaratan paling kontroversial adalah Hamas harus sepenuhnya melucuti senjata dan membongkar seluruh infrastruktur militernya, termasuk lokasi pembuatan senjata, di bawah pengawasan monitor independen.
Namun, rencana ini juga menawarkan jalan keluar bagi anggota Hamas. Mereka yang setuju hidup berdampingan secara damai dan melepaskan senjata akan menerima amnesti. Sementara yang ingin meninggalkan Gaza akan diberikan jalan aman ke negara-negara lain yang bersedia menerima.
Rekonstruksi dan Pembangunan Ekonomi
Begitu disahkan, bantuan kemanusiaan besar-besaran akan dikirim ke Gaza untuk rehabilitasi infrastruktur, mencakup air, listrik, sistem pembuangan limbah, rumah sakit, dan pabrik roti. Rencana ini membayangkan penciptaan zona ekonomi khusus dengan tarif preferensial dan akses pasar yang dinegosiasikan untuk negara-negara yang berpartisipasi.
Strategi pembangunan ekonomi akan dirumuskan oleh para spesialis yang pernah berkontribusi pada kesuksesan ekonomi modern di Timur Tengah. Ini dipandang sebagai upaya mengubah Gaza dari zona konflik menjadi pusat ekonomi yang makmur.
Aspirasi Negara Palestina
Meski tidak menjaminnya, rencana ini mengakui aspirasi Palestina untuk memiliki negara sendiri. Dokumen tersebut menyatakan bahwa "kondisinya mungkin akhirnya tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina" seiring Gaza dibangun kembali dan reformasi Otoritas Palestina diimplementasikan.
Yang penting, rencana ini secara eksplisit menyatakan bahwa "tidak ada yang akan dipaksa meninggalkan Gaza" dan mendorong orang untuk tinggal dan membangun masa depan yang lebih baik di sana—menepis kekhawatiran tentang pemindahan paksa populasi.
Dukungan dan Kritik Internasional
Sambutan Hangat dari Dunia Arab
Delapan negara Arab dan Muslim—Arab Saudi, Yordania, UEA, Indonesia, Pakistan, Turki, Qatar, dan Mesir—mengeluarkan pernyataan bersama menyambut "upaya tulus" Trump untuk mengakhiri perang. Mereka menyatakan kepercayaan pada kemampuan Trump menemukan jalan menuju perdamaian.
Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, turut menyuarakan dukungannya terhadap upaya penyelesaian damai konflik yang telah merenggut lebih dari 66.000 nyawa warga Palestina sejak Oktober 2023.
Otoritas Palestina juga menyambut rencana tersebut, memuji "upaya tulus dan tak kenal lelah" Trump serta menegaskan kembali komitmennya terhadap reformasi yang dapat memfasilitasi negara Palestina masa depan.
Pemimpin Eropa, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, juga mendukung proposal ini, melihatnya sebagai peluang langka untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan.
Tantangan dari Hamas dan Netanyahu
Hamas menghadapi dilema berat. Trump memberi Hamas tenggat waktu "tiga atau empat hari" untuk merespons proposal tersebut, dengan peringatan akan konsekuensi berat jika ditolak. Seorang pejabat senior Hamas mengatakan kepada BBC bahwa kelompok tersebut kemungkinan akan menolak rencana itu, menyebutnya bias terhadap Israel dan "mengabaikan kepentingan rakyat Palestina".
Hamas menentang persyaratan kunci termasuk pelucutan senjata total dan penyebaran pasukan internasional, yang mereka anggap sebagai bentuk pendudukan baru.
Namun, menurut informasi terbaru yang dilaporkan CBS News, Hamas dan faksi Palestina lainnya diperkirakan akan memberikan respons mereka terhadap rencana gencatan senjata Trump dengan cepat. Mediator Qatar dan Mesir telah menyampaikan rencana tersebut kepada pimpinan Hamas, yang berjanji akan memeriksanya "secara bertanggung jawab".
Di sisi lain, meski Netanyahu secara publik menerima rencana tersebut, dia membuat pernyataan kontradiktif yang dapat merusak implementasinya. Beberapa jam setelah mendukung proposal, dia menegaskan kembali penolakannya terhadap negara Palestina dan menegaskan pasukan Israel akan tetap di Gaza "untuk masa mendatang". Ini menciptakan ketegangan dengan visi rencana tentang penentuan nasib sendiri Palestina.
Kelemahan dan Kekhawatiran
Para kritikus menunjukkan bahwa rencana ini kekurangan detail implementasi krusial. Timeline untuk pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional masih belum jelas, dan tidak ada negara Arab spesifik yang secara sukarela menawarkan pasukan meski ada persyaratan untuk kepemimpinan mereka.
Analis menggambarkan rencana ini sangat condong menguntungkan Israel dibanding Hamas. Hamas pada dasarnya diminta untuk menyerah sepenuhnya sambil menerima jaminan terbatas sebagai balasan. Diana Buttu, pengacara Palestina dan mantan penasihat, mencatat bahwa rencana tersebut tidak menawarkan "satu pun jaminan" untuk Palestina.
Jihad Islam Palestina bahkan mengkritiknya sebagai "resep untuk agresi berkelanjutan", mencerminkan perpecahan di antara faksi-faksi Palestina.
Menunggu Respons Definitif
Per 1 Oktober 2025, Hamas telah menunjukkan akan mempelajari proposal secara internal dan dengan faksi Palestina lain sebelum merespons. Kelompok ini menghadapi tekanan signifikan dari sekutu Arab untuk menerima, namun divisi internal ada antara kepemimpinan berbasis Gaza dan pemimpin politik eksternal.
Rencana ini merepresentasikan inisiatif perdamaian Timur Tengah paling rinci Trump sejak kembali ke jabatan, membangun elemen dari proposal gencatan senjata sebelumnya sambil memperkenalkan struktur tata kelola baru dan mekanisme pengawasan internasional.
Masyarakat internasional terus mengawasi dengan saksama saat tenggat waktu mendekat. Banyak yang melihat ini sebagai upaya komprehensif terakhir untuk mengakhiri konflik menghancurkan yang telah merenggut puluhan ribu nyawa.
Pertanyaan besar tetap menggantung: Akankah Hamas menerima tawaran ini meski terasa berat sebelah? Akankah Netanyahu benar-benar mengizinkan jalan menuju negara Palestina? Dan yang paling penting, apakah rencana ambisius ini bisa menjadi kunci perdamaian abadi, atau sekadar episode lain dalam konflik yang tampaknya tak berujung ini?
Dunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara pendukung, menunggu jawaban dalam hitungan hari.
Komentar
Posting Komentar