Nepal mengalami gejolak politik terburuk dalam dekade terakhir setelah demonstrasi masif dipimpin Generasi Z memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri. Kerusuhan berdarah ini telah merenggut 51 nyawa dan memunculkan krisis kepemimpinan di negara yang berada di antara China dan India.
Himalaya tidak hanya dikenal karena puncak Everest yang menjulang tinggi. Negara kecil Nepal, yang terjepit di antara dua raksasa Asia—China dan India—kini menjadi sorotan dunia karena alasan yang sangat berbeda. Pada September 2025, gelombang demonstrasi yang dipimpin anak-anak muda Generasi Z berhasil menumbangkan pemerintahan dan menciptakan kehampaan politik yang mengkhawatirkan.
Larangan Media Sosial Jadi Pemicu Ledakan Amarah
Krisis politik Nepal berawal dari keputusan kontroversial pemerintah yang melarang 26 platform media sosial pada 4 September 2025. Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube, dan X (sebelumnya Twitter) menjadi sasaran pemblokiran dengan alasan gagal mematuhi persyaratan registrasi baru di bawah Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.
Namun, di balik alasan teknis tersebut, masyarakat Nepal melihat motif yang lebih gelap. Larangan ini dianggap sebagai upaya untuk membungkam kritik dan meredam gerakan viral yang tengah mengekspos gaya hidup mewah anak-anak pejabat politik Nepal.
Sebelum pemblokiran, media sosial Nepal dipenuhi dengan tagar #nepokids, #NepoBabies, dan #PoliticiansNepoBabyNepal. Video dan foto yang beredar menampilkan anak-anak elit politik yang memamerkan tas designer, mobil mewah, dan liburan mahal—kontras mencolok dengan kemiskinan yang dialami rakyat biasa.
"Ini bukan sekadar tentang larangan media sosial," kata seorang mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi. "Ini tentang ketidakadilan yang sudah kami rasakan bertahun-tahun."
Data menunjukkan 25% penduduk Nepal hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan rata-rata hanya 1.400 dollar AS per tahun. Sementara itu, anak-anak pejabat dengan bebas memamerkan kekayaan yang tidak mungkin diperoleh dari gaji resmi orang tua mereka.
Generasi Z Turun ke Jalan, Kekerasan Membalas Kekerasan
Pada 8 September 2025, ribuan pemuda Nepal—sebagian besar masih mengenakan seragam sekolah dan universitas—berkumpul di Maitighar Mandala dan sekitar gedung parlemen federal di Kathmandu. Mereka datang dengan tuntutan sederhana: cabut larangan media sosial dan berantas korupsi.
Namun, respons keras aparat keamanan mengubah demonstrasi damai menjadi pertumpahan darah. Polisi menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan akhirnya amunisi tajam terhadap demonstran yang berusaha menembus gedung parlemen.
Hari pertama saja, 19 orang tewas dengan 17 korban berasal dari Kathmandu. Alih-alih gentar, kematian tersebut justru membuat amarah demonstran semakin membara.
Keesokan harinya, 9 September, pemuda Nepal mengabaikan jam malam dan turun ke jalan dengan kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka membakar puluhan gedung pemerintah dan rumah politisi, termasuk:
- Gedung parlemen dan Mahkamah Agung
- Kediaman Perdana Menteri Oli
- Rumah mantan perdana menteri dan pemimpin politik lainnya
- Kantor-kantor pemerintah dan kantor polisi
Kekerasan begitu masif hingga 900 narapidana berhasil melarikan diri dari dua fasilitas penjara di Nepal barat selama kekacauan.
Tuntutan yang Berkembang: Dari Media Sosial hingga Reformasi Total
Apa yang dimulai sebagai protes terhadap larangan media sosial berkembang menjadi gerakan anti-korupsi komprehensif. Para demonstran menuntut:
Pemberantasan Korupsi Menyeluruh: Tindakan tegas terhadap korupsi yang mereka anggap merajalela di kalangan elit politik.
Akuntabilitas Pemerintah: Transparansi dalam belanja publik dan pertanggungjawaban atas kekayaan politisi.
Reformasi Politik: Pembubaran parlemen dan pemilihan umum baru dalam enam hingga dua belas bulan.
Demokrasi Langsung: Mekanisme untuk memilih perdana menteri secara langsung dan pembatasan masa jabatan.
Yang unik dari gerakan ini adalah sifatnya yang tanpa pemimpin formal. Muncul dari mobilisasi media sosial, gerakan ini merepresentasikan kemarahan grassroots yang murni. Para demonstran bahkan menyatakan gerakan mereka "dibajak" oleh elemen oportunis ketika kekerasan meledak.
PM Oli Mundur, Kekosongan Kepemimpinan Mengancam
Tekanan massif memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada 9 September 2025. Dalam surat pengunduran dirinya, Oli menyebut "keadaan luar biasa" dan kebutuhan untuk "solusi politik konstitusional". Pengunduran diri ini menandai berakhirnya masa jabatan keempatnya sebagai perdana menteri sejak 2015.
Dengan mundurnya Oli, Nepal menghadapi kekosongan kepemimpinan yang berbahaya. Militer secara efektif mengambil alih kendali, mengerahkan pasukan di Kathmandu dan memberlakukan jam malam sambil memperingatkan terhadap kekerasan lebih lanjut.
Panglima Angkatan Darat Ashok Raj Sigdel menyerukan dialog dengan pemimpin protes, meski tidak jelas siapa yang bisa mewakili gerakan terdesentralisasi ini secara sah.
Perempuan Pertama Memimpin Nepal di Tengah Krisis
Dalam perkembangan terbaru yang mengejutkan, Nepal menunjuk mantan Ketua Mahkamah Agung Sushila Karki sebagai perdana menteri interim, menjadikannya perempuan pertama yang memimpin pemerintahan negara tersebut.
Kelompok Gen Z menyatakan dukungan mereka terhadap Karki, mengatakan "Dalam situasi saat ini, Sushila Karki adalah pilihan terbaik untuk kepemimpinan sementara. Sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung, dia membawa pengalaman yang sangat besar."
Penunjukan Karki disambut positif oleh para demonstran yang sebelumnya secara khusus menyebut namanya sebagai kandidat yang dapat diterima. Namun, tantangan berat menanti di depan.
Akar Masalah: Ketidakstabilan Kronis dan Kesenjangan Ekonomi
Krisis ini mencerminkan masalah struktural Nepal yang lebih dalam. Sejak menghapuskan monarki pada 2008 dan menjadi republik, Nepal mengalami ketidakstabilan politik kronis. Negara ini telah memiliki 14 pemerintahan berbeda dalam 17 tahun, tanpa satu pun administrasi menyelesaikan masa jabatan lima tahun penuh.
Ketidakstabilan ini berakar pada beberapa faktor:
Parlemen Terfragmentasi: Sistem perwakilan proporsional menciptakan situasi di mana tidak ada partai tunggal yang dapat memerintah sendiri.
Koalisi Oportunistik: Partai politik sering membentuk dan memutuskan aliansi berdasarkan pembagian kekuasaan, bukan keselarasan ideologis.
Tantangan Konstitusional: Konstitusi 2015 memperkenalkan federalisme, namun implementasinya bermasalah.
Sementara itu, krisis ekonomi dan sosial semakin memperburuk situasi. Nepal menghadapi krisis pengangguran pemuda yang parah, dengan tingkat mencapai 20,8% pada 2024—jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional 12,6%. Ini mendorong emigrasi massal, dengan perkiraan 2.000 orang muda meninggalkan Nepal setiap hari untuk mencari kerja di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Kontras antara kekayaan elit politik dan perjuangan warga biasa semakin mencolok. Sementara keluarga politisi memamerkan gaya hidup mewah, sebagian besar rakyat Nepal menghadapi:
- Kesempatan kerja terbatas
- Hasil pendidikan buruk yang tidak sesuai kebutuhan pasar
- Ketergantungan pada remitansi yang mencapai 33% dari PDB
Implikasi Regional dan Internasional
Ketidakstabilan Nepal memiliki implikasi lebih luas mengingat posisi strategisnya antara China dan India. Kedua negara tetangga secara historis telah mempengaruhi politik Nepal, dan ketidakstabilan berkelanjutan dapat memengaruhi geopolitik regional.
Krisis ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang kemunduran demokrasi dan potensi langkah-langkah otoriter lebih lanjut. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan imbauan mendesak untuk menahan diri dan dialog setelah penindasan keras terhadap protes pemuda.
Amerika Serikat juga menyerukan penahan diri dan dialog damai, menunjukkan perhatian internasional terhadap perkembangan di Nepal.
Jalan ke Depan: Tantangan dan Peluang
Total korban tewas telah mencapai 51 orang, termasuk 21 demonstran, 3 petugas polisi, dan 27 lainnya, menjadikan ini sebagai kerusuhan politik paling mematikan dalam sejarah modern Nepal.
Saat Nepal bergulat dengan krisis ini, beberapa tantangan masih tersisa:
Peran Militer: Sementara tentara telah memulihkan ketertiban, pertanyaan tentang keterlibatan jangka panjang mereka dalam pemerintahan masih ada.
Proses Dialog: Membangun negosiasi yang bermakna antara militer, establishment politik, dan pemimpin protes.
Reformasi Elektoral: Menangani masalah struktural yang telah menyebabkan ketidakstabilan kronis.
Reformasi Ekonomi: Menciptakan peluang bagi generasi muda untuk mengurangi emigrasi dan membangun karier di dalam negeri.
Krisis saat ini mewakili tantangan sekaligus peluang bagi Nepal. Meskipun situasi langsung masih bergejolak, krisis ini juga telah menunjukkan kekuatan mobilisasi warga dan berpotensi mengkatalisasi reformasi yang sudah lama dibutuhkan.
Namun, keberhasilan akan membutuhkan komitmen tulus untuk menangani akar penyebab korupsi, ketidaksetaraan, dan disfungsi politik yang telah melanda negara selama bertahun-tahun.
Masyarakat internasional mengawasi dengan seksama. Bagaimana Nepal menavigasi krisis ini dapat menentukan apakah negara ini bergerak menuju stabilitas dan tata kelola demokratis yang lebih besar atau menghadapi siklus ketidakstabilan dan kerusuhan yang berkelanjutan.
Satu hal yang pasti: suara Generasi Z Nepal telah didengar keras dan jelas. Mereka telah membuktikan bahwa kekuatan rakyat, ketika bersatu, dapat mengguncang bahkan pemerintahan yang paling mapan sekalipun. Pertanyaannya sekarang adalah apakah momentum ini dapat diarahkan menuju perubahan positif yang berkelanjutan untuk masa depan Nepal yang lebih baik.

Komentar
Posting Komentar