Peringatan tersebut datang saat krisis sandera memasuki fase baru setelah gencatan senjata selama enam minggu berakhir di akhir Februari 2025.
Eskalasi Peringatan Trump kepada Hamas
Presiden Donald Trump telah meningkatkan tekanan terhadap Hamas dengan ultimatum yang semakin keras mengenai pembebasan sandera yang masih ditahan di Gaza. Peringatan terbaru Trump, yang disampaikan pada 5 Maret 2025, merupakan puncak dari strategi diplomatik yang menggabungkan ancaman langsung dengan negosiasi di belakang layar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Krisis sandera ini bermula setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023 terhadap Israel, yang mengakibatkan banyak warga Israel ditawan. Peringatan publik Trump kepada Hamas telah meningkat baik dalam frekuensi maupun tingkat keparahannya sejak ia kembali menjabat.
Pada tanggal 10 Februari 2025, Trump mengeluarkan ancaman paling spesifik pada saat itu, memperingatkan Hamas bahwa "neraka akan terjadi" jika semua sandera Israel yang tersisa tidak dibebaskan pada tengah hari tanggal 15 Februari. Peringatan ini muncul setelah KTT Washington dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 4 Februari, menunjukkan koordinasi erat antara kedua pemimpin dalam strategi Gaza.
Ultimatum 5 Maret 2025
Peringatan paling keras datang pada 5 Maret 2025, ketika Trump mengeluarkan apa yang dia sebut sebagai "peringatan terakhirnya" kepada Hamas. Menggunakan platform Truth Social miliknya, Trump menuntut: "Bebaskan semua Sandera sekarang, tidak nanti, dan segera kembalikan semua jasad orang-orang yang kalian bunuh, atau ini BERAKHIR untuk kalian."
Ultimatum tersebut berisi beberapa komponen yang mengungkapkan pendekatan pemerintahannya terhadap krisis tersebut. Trump secara eksplisit mengancam kepemimpinan Hamas, menyarankan mereka untuk "meninggalkan Gaza, selagi kalian masih punya kesempatan," sambil secara bersamaan menyampaikan kepada penduduk Gaza dengan peringatan keras: "Kepada Rakyat Gaza: Masa Depan yang indah menanti, tapi tidak jika kalian menahan Sandera. Jika kalian melakukannya, kalian MATI!"
Perubahan Diplomasi: Keterlibatan Langsung dengan Hamas
Perkembangan paling signifikan dalam pendekatan Trump adalah konfirmasi bahwa pemerintahannya telah terlibat dalam pembicaraan langsung dengan Hamas—perubahan dramatis dari kebijakan AS yang sudah lama dipertahankan. Sejak 1997, Amerika Serikat telah menetapkan Hamas sebagai Organisasi Teroris Asing dan umumnya mempertahankan kebijakan untuk tidak bernegosiasi dengan kelompok teroris.
Pada 5 Maret 2025, beberapa jam sebelum Trump mengeluarkan ultimatumnya, Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengkonfirmasi bahwa pejabat AS telah terlibat dalam "pembicaraan dan diskusi yang berkelanjutan" dengan perwakilan Hamas. Pembicaraan ini dilaporkan telah berlangsung di Doha, Qatar, dengan Adam Boehler, utusan khusus Trump untuk urusan sandera, berpartisipasi secara langsung.
Ketika ditanya tentang pembalikan kebijakan ini, Leavitt membela pendekatan tersebut, menyatakan: "Dialog dan berbicara dengan orang-orang di seluruh dunia untuk melakukan apa yang terbaik bagi kepentingan rakyat Amerika, adalah sesuatu yang telah dibuktikan presiden sebagai apa yang dia yakini sebagai upaya yang tulus, untuk melakukan apa yang benar bagi rakyat Amerika." Dia menekankan bahwa "nyawa orang Amerika dipertaruhkan," merujuk pada warga Amerika Edan Alexander, yang diyakini berada di antara sandera yang masih ditahan di Gaza.
Koordinasi dengan Pemerintah Israel
Keterlibatan langsung pemerintahan Trump dengan Hamas dilaporkan telah dilakukan dengan konsultasi dengan Israel. Seorang juru bicara dari kantor Netanyahu mengkonfirmasi bahwa Israel telah "menyampaikan kepada Amerika Serikat posisinya mengenai pembicaraan langsung dengan Hamas". Ini menunjukkan pendekatan yang bernuansa di mana Israel mempertahankan sikap resminya untuk tidak bernegosiasi langsung dengan Hamas sambil potensial mendukung upaya diplomatik yang dipimpin AS di belakang layar.
Status Sandera dan Negosiasi Gencatan Senjata
Menurut perkiraan Israel, sekitar 24 sandera yang masih hidup, termasuk warga Amerika Edan Alexander, dan jasad setidaknya 35 orang lainnya masih berada di Gaza. Sumber lain menyebutkan jumlah total 59 sandera, dengan 24 diyakini masih hidup. Perbedaan ini kemungkinan mencerminkan kesulitan dalam memperoleh informasi akurat tentang status para sandera.
AS dilaporkan telah menyusun proposal gencatan senjata baru melalui utusan Timur Tengah Steve Witkoff. Rencana ini akan mengharuskan Hamas membebaskan setengah dari sandera yang tersisa sebagai imbalan perpanjangan gencatan senjata dan komitmen untuk menegosiasikan gencatan senjata yang berkelanjutan. Namun, proposal tersebut tidak menyebutkan pembebasan tahanan Palestina tambahan, yang telah menjadi komponen kunci dari kesepakatan fase pertama.
Hamas telah bersikeras untuk beralih ke fase kedua dari kesepakatan gencatan senjata, yang akan mengarah pada akhir permanen perang. Israel, bagaimanapun, telah menyatakan keengganan untuk bergerak melampaui fase pertama dan telah meningkatkan tekanan pada Hamas dengan menghentikan semua masuknya barang dan pasokan ke Gaza, menciptakan apa yang Prancis, Inggris, dan Jerman telah bersama-sama sebut sebagai situasi kemanusiaan yang "katastrofik".
Konsekuensi Potensial Jika Hamas Mengabaikan Peringatan Trump
Konsekuensi yang paling segera terlihat jika Hamas mengabaikan ultimatum Trump kemungkinan adalah operasi militer yang lebih intensif yang secara khusus menargetkan kepemimpinan organisasi tersebut. Peringatan Trump berisi bahasa eksplisit yang ditujukan pada struktur kepemimpinan Hamas, menyarankan mereka untuk "meninggalkan Gaza, selagi masih punya kesempatan". Ini menunjukkan bahwa mengabaikan peringatan tersebut dapat mengakibatkan upaya terkonsentrasi untuk mengeliminasi struktur komando Hamas.
Pernyataan Trump bahwa ia sedang "mengirimkan Israel semua yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas, tidak ada satu pun anggota Hamas yang akan aman jika kalian tidak melakukan seperti yang saya katakan" menunjukkan bahwa AS siap untuk memberikan dukungan militer yang ditingkatkan yang secara khusus dirancang untuk menargetkan kepemimpinan Hamas.
Percepatan Dukungan Militer AS kepada Israel
Jika Hamas mengabaikan peringatan Trump, konsekuensi langsung akan berupa percepatan dukungan militer Amerika kepada Israel. Trump secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintahannya sedang "mempercepat miliaran dolar dalam persenjataan" untuk Israel. Ini menunjukkan bahwa ketidakpatuhan akan memicu peningkatan segera dalam kuantitas dan potensial kecanggihan senjata yang diberikan kepada Israel.
Skala dukungan ini kemungkinan akan melebihi paket bantuan militer sebelumnya, memungkinkan Israel untuk melakukan operasi yang lebih ekstensif di Gaza. Kepala militer Israel Eyal Zamir telah mengakui bahwa meskipun "Hamas memang telah menderita pukulan keras, namun belum dikalahkan. Misi belum selesai". Dukungan militer AS yang ditingkatkan akan memberikan Israel kemampuan tambahan untuk menyelesaikan misi ini.
Konsekuensi Kemanusiaan bagi Penduduk Sipil Gaza
Mungkin konsekuensi potensial yang paling mengkhawatirkan melibatkan penduduk sipil Gaza. Peringatan Trump secara eksplisit meluas melampaui kepemimpinan Hamas kepada rakyat Gaza: "Kepada Rakyat Gaza: Masa Depan yang indah menanti, tapi tidak jika kalian menahan Sandera. Jika kalian melakukannya, kalian MATI!" Bahasa ini menunjukkan bahwa operasi militer dapat meluas ke area di mana warga sipil berada jika sandera tidak dibebaskan.
Israel telah "meningkatkan tekanan tidak hanya dengan ancaman dengan menghentikan semua masuknya barang dan pasokan ke Gaza" sejak berakhirnya gencatan senjata enam minggu. Pembatasan bantuan kemanusiaan ini telah menciptakan apa yang Prancis, Inggris, dan Jerman telah bersama-sama sebut sebagai situasi kemanusiaan yang "katastrofik". Afrika Selatan telah lebih jauh, menuduh Israel "menggunakan kelaparan sebagai senjata perang".
Implikasi Regional dan Global
Konflik yang meningkat setelah peringatan diabaikan akan memiliki implikasi signifikan bagi stabilitas regional. Sejak konflik dimulai dengan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang "menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dengan 251 sandera dibawa ke Gaza", ketegangan di seluruh Timur Tengah telah meningkat secara substansial.
Kampanye militer Israel selanjutnya telah "menewaskan puluhan ribu orang, menurut otoritas lokal, dan menggusur sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza". Intensifikasi lebih lanjut dari konflik ini berpotensi menarik aktor regional lainnya, terutama mereka yang memiliki hubungan dengan Hamas.
Konflik yang meningkat di Gaza berpotensi menyebar ke front lain, termasuk Lebanon (di mana Hizbullah telah terlibat dalam pertukaran lintas batas dengan Israel) dan berpotensi melibatkan kelompok-kelompok yang didukung Iran lainnya di wilayah tersebut. Meskipun eskalasi yang lebih luas ini tidak terhindarkan, itu mewakili kemungkinan yang mengkhawatirkan jika konflik di Gaza meningkat setelah peringatan diabaikan.
Masalah Kemanusiaan dan Reaksi Internasional
Peringatan yang meningkat dan potensi untuk aksi militer yang diperbarui telah menimbulkan kekhawatiran kemanusiaan yang signifikan. Dengan Israel menghentikan pengiriman bantuan setelah berakhirnya gencatan senjata, badan-badan internasional telah menyatakan kekhawatiran. Prancis, Inggris, dan Jerman bersama-sama menyebut situasi kemanusiaan di Gaza "katastrofik" dan mendesak Israel untuk memastikan pengiriman bantuan yang "tidak terhalang". Afrika Selatan telah melangkah lebih jauh, menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dengan membatasi bantuan.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) untuk operasi militernya di Gaza, yang dilaporkan telah menewaskan lebih dari 48.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Masa Depan Negosiasi dan Proses Perdamaian
Penolakan Hamas untuk membebaskan sandera kemungkinan akan mengakhiri prospek yang tersisa untuk gencatan senjata yang dinegosiasikan dalam jangka pendek. Gencatan senjata enam minggu yang telah berlangsung berakhir pada akhir pekan 2-3 Maret 2025. Israel telah menyatakan minat untuk memperpanjang fase pertama gencatan senjata, sementara Hamas telah bersikeras untuk beralih ke fase kedua yang akan mengarah pada akhir permanen konflik.
AS dilaporkan telah menyusun proposal melalui utusan Timur Tengah Steve Witkoff yang akan memperpanjang fase pertama gencatan senjata selama bulan Ramadhan, daripada beralih ke fase kedua. Menurut kantor Perdana Menteri Israel Netanyahu, rencana ini mengusulkan "pembebasan setengah dari sandera, termasuk yang meninggal, pada hari pertama, dengan sisanya akan dibebaskan setelah gencatan senjata permanen ditetapkan".
Namun, Hamas telah menolak proposal ini, mengklaim tidak mematuhi kesepakatan gencatan senjata multi-fase yang asli. Jika Hamas lebih lanjut mengabaikan peringatan Trump, jalur diplomatik untuk penyelesaian kemungkinan akan runtuh sepenuhnya, setidaknya dalam jangka pendek, mengarah pada konflik berkepanjangan dengan korban yang terus bertambah di kedua sisi.
Perubahan Kebijakan AS terhadap Hamas
Mungkin perkembangan paling signifikan dalam pendekatan Trump adalah konfirmasi bahwa pemerintahannya telah terlibat dalam pembicaraan langsung dengan Hamas—perubahan dramatis dari kebijakan AS yang sudah lama dipertahankan. Sejak 1997, Amerika Serikat telah menetapkan Hamas sebagai Organisasi Teroris Asing dan umumnya mempertahankan kebijakan untuk tidak bernegosiasi dengan kelompok teroris. Perubahan ini merupakan salah satu perubahan paling substansial dalam kebijakan AS terhadap Hamas selama beberapa dekade.
Keterlibatan langsung pemerintahan Trump dengan Hamas dilaporkan telah dilakukan dengan konsultasi Israel. Seorang juru bicara dari kantor Netanyahu mengonfirmasi bahwa Israel telah "menyampaikan kepada Amerika Serikat posisinya mengenai pembicaraan langsung dengan Hamas". Ini menunjukkan pendekatan yang bernuansa di mana Israel mempertahankan sikap resminya untuk tidak bernegosiasi langsung dengan Hamas sambil potensial mendukung upaya diplomatik yang dipimpin AS di belakang layar.
Kesimpulan: Apa yang Ada di Depan?
Peringatan meningkat dari Presiden Trump kepada Hamas mewakili strategi diplomatik multi-facet yang menggabungkan ancaman langsung, dukungan militer untuk Israel, dan keterlibatan langsung tanpa preseden dengan Hamas. Pendekatan ini menandai perubahan signifikan dari kebijakan AS tradisional sambil mempertahankan koordinasi yang kuat dengan kepemimpinan Israel.
Keberhasilan strategi Trump tetap tidak pasti. Dengan sekitar dua lusin sandera masih diyakini hidup di Gaza dan kondisi kemanusiaan memburuk, hari-hari dan minggu-minggu mendatang kemungkinan akan terbukti kritis dalam menentukan apakah diplomasi—didukung oleh ancaman kekuatan—dapat mengamankan pembebasan sandera yang tersisa dan berpotensi membuka jalan bagi gencatan senjata yang lebih berkelanjutan.
Yang jelas adalah bahwa pemerintahan Trump telah memilih pendekatan yang menggabungkan retorika garis keras tradisional dengan kemauan pragmatis untuk terlibat langsung dengan organisasi teroris yang ditetapkan ketika nyawa Amerika dipertaruhkan.
Konsekuensi Hamas mengabaikan peringatan Trump kemungkinan akan parah dan multi-facet. Operasi militer akan diintensifkan, khususnya menargetkan kepemimpinan Hamas, dengan peningkatan dukungan AS untuk Israel. Situasi kemanusiaan di Gaza, yang sudah digambarkan sebagai "katastrofik," akan semakin memburuk. Upaya diplomatik kemungkinan akan runtuh dalam jangka pendek, memperpanjang konflik dan berpotensi memperluas cakupannya.
Pada 6 Maret 2025, situasi tetap cair, dengan "peringatan terakhir" Trump mewakili titik kritis dalam konflik. Apakah Hamas akan menanggapi peringatan ini, dan bagaimana komunitas internasional akan bereaksi terhadap eskalasi potensial, masih harus dilihat. Yang jelas adalah bahwa keputusan yang dibuat dalam hari-hari mendatang akan memiliki implikasi mendalam bagi rakyat Gaza, Israel, dan wilayah Timur Tengah yang lebih luas.
Komentar
Posting Komentar