Langsung ke konten utama

Tragedi Jembatan Hongqi: Infrastruktur Senilai Rp20 Miliar Runtuh 10 Bulan Setelah Dibuka

Detik-detik mencekam terekam jelas dalam video yang viral di media sosial. Sebuah jembatan megah yang menjulang 172 meter di atas lembah sungai tiba-tiba ambruk, menghujani aliran Sungai Dadu dengan reruntuhan beton dan debu mengepul tinggi. Bukan jembatan tua yang lapuk dimakan usia, melainkan Jembatan Hongqi yang baru beroperasi selama 10 bulan. Insiden mengejutkan itu terjadi pada Selasa sore, 11 November 2025, di Prefektur Otonomi Tibet dan Qiang Ngawa Aba, Provinsi Sichuan, China barat daya. Jembatan sepanjang 758 meter yang dijuluki "Jembatan di Awan" itu runtuh setelah diterjang longsor dahsyat akibat hujan lebat berkepanjangan. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam tragedi ini. Kepolisian kota Maerkang telah menutup akses jembatan sejak Senin sore, sehari sebelum kejadian, setelah petugas menemukan tanda-tanda bahaya. Tanda Bahaya yang Tepat Waktu Kewaspadaan petugas kepolisian Maerkang terbukti menyelamatkan nyawa. Pada 10 November, mereka mendeteksi adanya reta...

Krisis di Columbia University: Protes Anti-Israel, Tuntutan Trump, dan Pencabutan Dana $400 Juta

Perguruan tinggi elit Amerika menghadapi konsekuensi berat akibat penanganan demonstrasi kampus yang kontroversial


Jakarta
- Gelombang protes anti-Israel yang melanda kampus-kampus Amerika Serikat pada 2024 telah mencapai titik kritis di Columbia University, New York. Konflik berkepanjangan ini berujung pada pencabutan dana federal sebesar $400 juta oleh pemerintahan Trump, memaksa universitas bergengsi tersebut untuk tunduk pada tuntutan presiden.

Kronologi Protes di Columbia University

Demonstrasi bermula pada 17 April 2024 ketika para mahasiswa mendirikan tenda-tenda di halaman utama kampus sebagai bentuk protes terhadap tindakan Israel di Gaza. Meskipun NYPD (Kepolisian New York) melakukan penangkapan massal pada 18 April, para demonstran kembali mendirikan tenda-tenda keesokan harinya.

Situasi semakin memanas pada akhir April 2024 ketika para demonstran menerobos masuk dan membarikade diri di dalam Hamilton Hall. Walikota New York, Eric Adams, mengungkapkan bahwa dari 282 demonstran yang ditangkap, 134 di antaranya tidak memiliki afiliasi dengan universitas.

"Ini bukan hanya masalah protes mahasiswa, tetapi ada pihak luar yang meradikalisasi mereka," ujar Adams dalam sebuah konferensi pers.

Tuduhan Antisemitisme dan Intimidasi

Kasus ini menjadi semakin kompleks karena adanya tuduhan antisemitisme. Dua petugas kebersihan Columbia mengklaim dalam gugatan hukum bahwa mereka terjebak dan diserang oleh demonstran di Hamilton Hall yang menyebut mereka "pecinta Yahudi", sehingga mengakibatkan cedera dan trauma.

Mario Torres, salah satu petugas kebersihan berkulit hitam, menyatakan bahwa ia telah menghapus begitu banyak lambang swastika di kampus sejak November 2023, setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Mahasiswa Yahudi melaporkan intimidasi di kampus, termasuk teriakan-teriakan antisemit di area kantin kosher dan pengucilan karena mengenakan kalung Bintang David.

Kegagalan Kepemimpinan dan Pengunduran Diri

Presiden Columbia University, Minouche Shafik, mendapat kritik keras atas penanganannya terhadap situasi tersebut. Dalam dengar pendapat di depan Kongres pada April 2024, Shafik tampak ragu-ragu ketika ditanya apakah seruan "From the river to the sea, Palestine will be free" termasuk pernyataan antisemitisme.

Tekanan terus meningkat hingga akhirnya pada 14 Agustus 2024, Shafik mengundurkan diri. Dalam pernyataannya, ia menulis: "Sebagaimana kata Presiden Lincoln, 'Rumah yang terpecah belah tidak dapat bertahan.' Kita harus melakukan segala upaya untuk melawan kekuatan polarisasi dalam komunitas kita."

Intervensi Pemerintahan Trump

Pada Maret 2025, Presiden Donald Trump mengambil langkah tegas dengan membatalkan dana federal sebesar $400 juta untuk Columbia. Pemerintahannya kemudian menyusun daftar tuntutan yang harus dipenuhi universitas jika ingin tetap menerima pendanaan federal.

Beberapa tuntutan tersebut meliputi:

  • Larangan penggunaan masker
  • Proses disiplin terhadap mahasiswa yang terlibat protes
  • Definisi formal antisemitisme
  • Reformasi proses penerimaan mahasiswa
  • Evaluasi pihak ketiga terhadap kurikulum studi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika

Pada 21 Maret 2025, Columbia University mengumumkan akan memenuhi tuntutan tersebut, termasuk menempatkan Departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika di bawah pengawasan akademik selama minimal 5 tahun.

Deportasi dan Kontroversi Lanjutan

Pemerintahan Trump juga menindak para demonstran secara langsung. Mahmoud Khalil, mahasiswa pascasarjana Columbia, ditangkap oleh agen Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) dan ditahan di Louisiana karena dugaan menyembunyikan hubungan dengan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina.

Kasus serupa terjadi pada Yun Seo Chung, mahasiswa junior Columbia asal Korea Selatan, yang terancam deportasi setelah ditangkap pada 5 Maret terkait protes di Barnard College.

Dampak dan Prospek Ke Depan

Konflik ini telah mengubah wajah pendidikan tinggi Amerika, memunculkan perdebatan tentang batas antara kebebasan berekspresi, antisemitisme, dan intervensi pemerintah dalam urusan akademik.

"Kami bekerja sama dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk mengeksekusi surat perintah penggeledahan dalam penyelidikan terhadap Columbia University karena menampung dan menyembunyikan imigran ilegal di kampusnya," ujar perwakilan pemerintah Trump. "Penyelidikan ini masih berlangsung dan kami juga menyelidiki apakah penanganan Columbia terhadap insiden sebelumnya melanggar undang-undang hak sipil dan termasuk kejahatan terorisme."

Sementara perang Israel di Gaza terus berlanjut dengan korban jiwa Palestina yang dilaporkan telah mencapai lebih dari 50.000 orang pada Maret 2025, ketegangan di kampus-kampus Amerika kemungkinan akan terus berlanjut, dengan Columbia University menjadi episentrum perdebatan tentang kebebasan akademik, antisemitisme, dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Istana ke Penjara: Kisah Jatuhnya Nicolas Sarkozy dalam Pusaran Skandal Dana Gaddafi

Dalam sebuah peristiwa yang mengguncang dunia politik Eropa, Nicolas Sarkozy, mantan Presiden Prancis yang menjabat dari 2007 hingga 2012, kini mendekam di Penjara La Santé, Paris. Pada 21 Oktober 2025, politisi berusia 70 tahun ini resmi memulai hukuman penjara lima tahun setelah terbukti bersalah dalam kasus konspirasi kriminal terkait pendanaan kampanye ilegal dari Libya. Sarkozy menjadi pemimpin pertama dari negara Uni Eropa yang dipenjara dan kepala negara Prancis pertama yang masuk penjara sejak era Perang Dunia II. Keputusan pengadilan untuk menjalankan hukuman segera, bahkan sebelum proses banding selesai, menjadi preseden yang belum pernah terjadi dalam sejarah hukum Prancis modern. Vonis yang Menggemparkan Prancis Pengadilan pidana Paris pada 25 September 2025 menjatuhkan vonis bersalah kepada Sarkozy atas tuduhan konspirasi kriminal. Hakim ketua, Nathalie Gavarino, menyatakan bahwa mantan presiden ini berusaha mendapatkan dana kampanye ilegal senilai jutaan euro dari mend...

Gencatan Senjata Israel-Hamas Resmi Berlaku: Fase Pertama Rencana Damai Trump untuk Gaza

Sebuah babak baru tercipta di Timur Tengah. Israel dan Hamas akhirnya mencapai kesepakatan gencatan senjata setelah lebih dari dua tahun konflik berdarah yang menewaskan puluhan ribu jiwa. Pemerintah Israel secara resmi menyetujui kesepakatan ini pada Jumat, 10 Oktober 2025, menandai implementasi fase pertama dari rencana damai 20 poin Presiden Donald Trump untuk Gaza. Kesepakatan bersejarah ini muncul setelah negosiasi tidak langsung yang intensif di Sharm el-Sheikh, Mesir. Kabinet Israel memberikan persetujuan final mereka, membuka jalan bagi penghentian pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza dan merenggut nyawa lebih dari 67.000 warga Palestina. Pertukaran Tahanan Besar-Besaran Jadi Kunci Kesepakatan Salah satu poin paling krusial dalam kesepakatan ini adalah pertukaran tahanan yang melibatkan jumlah besar dari kedua belah pihak. Hamas berkomitmen untuk membebaskan 20 sandera Israel yang masih hidup dalam waktu 72 jam sejak gencatan senjata berlaku, ditamba...

Kesepakatan ASEAN di Kuala Lumpur Buka Peluang Ekspor RI Naik 15%

Kesepakatan baru di KTT ASEAN Malaysia dapat meningkatkan ekspor Indonesia hingga 15% namun menghadirkan tantangan bagi industri manufaktur lokal yang harus bersaing lebih ketat dengan produk Thailand dan Vietnam. Apa Yang Terjadi di Malaysia Para pemimpin ASEAN berkumpul di Kuala Lumpur untuk KTT ke-44 ASEAN yang membahas integrasi ekonomi regional dan respons bersama terhadap ketegangan perdagangan global. Pertemuan menghasilkan kesepakatan untuk mempercepat implementasi ASEAN Single Window dan menurunkan hambatan non-tarif di sektor prioritas termasuk pertanian, elektronik, dan jasa digital. Malaysia sebagai tuan rumah mendorong harmonisasi standar perdagangan yang lebih ketat mulai kuartal kedua 2026. Dampak Langsung ke Indonesia Ekspor-Impor: Sektor kelapa sawit, kopi, dan kakao Indonesia diprediksi mendapat akses pasar lebih mudah ke Singapura, Malaysia, dan Thailand dengan penurunan waktu clearance hingga 40%. Namun, produk manufaktur Indonesia—terutama tekstil, alas kaki, ...