Dalam iklim internasional yang sedang membara, momen ini
menjadi lebih dari sekadar kontroversi selebriti. Ini adalah refleksi bagaimana
dunia hiburan, politik, dan kebebasan berbicara saling berbenturan dalam
lanskap modern yang serba sensitif.
Rapper Inggris di Bawah Sorotan: Siapa, Apa, dan Mengapa?
Pada Sabtu malam, di panggung utama Glastonbury yang
disaksikan ribuan penonton dan jutaan netizen lewat siaran langsung, rapper
Inggris yang dikenal karena lirik-lirik sosial dan politiknya—Lowkey—melontarkan
komentar tajam soal kebijakan Israel
terhadap Gaza, menyebut negara tersebut sebagai “rezim apartheid” dan
menyerukan perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.
"Ini bukan hanya festival, ini adalah panggung untuk
kebenaran," katanya sebelum menyampaikan lagu yang liriknya penuh sindiran
politik. Reaksi dari penonton pun beragam—sebagian berdiri memberi tepuk
tangan, sebagian tampak kaget.
Namun yang lebih menghebohkan adalah reaksi dari otoritas.
Segera setelah pertunjukan itu viral, Polisi Avon and Somerset mengumumkan
bahwa mereka tengah meninjau komentar Lowkey untuk melihat
apakah ada pelanggaran hukum, khususnya di bawah Undang-Undang Hasutan
Kebencian yang berlaku di Inggris.
Apa yang Dikejar Polisi?
Polisi menyatakan mereka tengah menelaah apakah komentar
sang rapper dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian terhadap
kelompok etnis tertentu—dalam hal ini, warga keturunan Yahudi.
Menurut penjelasan mereka, proses ini bukan berarti langsung
menuju penyidikan, tapi lebih merupakan pengumpulan informasi. Polisi
bekerjasama dengan penyelenggara Glastonbury dan melakukan komunikasi
dengan Komunitas
Yahudi Inggris, yang melaporkan insiden ini sebagai sesuatu yang bersifat
ofensif dan menyinggung.
Menariknya, sebagian besar media Inggris menyebut bahwa
investigasi ini akan memperhitungkan faktor konteks politis dan seni
panggung, bukan semata-mata isi literal komentarnya.
Aturan Main di Inggris: Bebas Bicara tapi Ada Batas
Inggris memiliki rekam jejak panjang dalam menyeimbangkan
antara kebebasan berbicara dan perlindungan terhadap ujaran kebencian.
Undang-undang seperti Public Order Act 1986 melarang
penyebaran kebencian berdasarkan ras, agama, atau orientasi seksual. Namun,
hukum Inggris juga memberikan ruang bagi ekspresi seni dan politik—syaratnya
tidak menimbulkan ancaman nyata atau menghasut kekerasan.
Dalam kasus ini, pertanyaannya adalah: apakah pidato sang
rapper merupakan pandangan politik, atau telah melangkah menjadi serangan
terhadap kelompok tertentu?
Ini bukan hal baru dalam dunia panggung. Musisi
seperti Roger
Waters dan bahkan kelompok hip-hop seperti Public Enemy juga pernah
menghadapi tuduhan serupa.
Tabel: Komparasi Kasus Serupa dalam Dunia Musik dan
Kebebasan Ekspresi
Nama Artis |
Tahun |
Isu Kontroversial |
Tanggapan Hukum |
Lowkey |
2024 |
Komentar Anti-Israel di Glastonbury |
Ditinjau oleh Polisi Inggris |
Roger Waters |
2023 |
Visual Nazi di konser |
Diselidiki otoritas Jerman |
M.I.A |
2009 |
Dukungan untuk Tamil Tigers |
Dikritik media dan pejabat pemerintah |
Public Enemy |
1989 |
Lirik provokatif terhadap sistem |
Diprotes stasiun radio dan media |
Reaksi Publik: Terbelah Antara Dukungan &
Kekhawatiran
Tagar #FreeLowkey mendadak naik daun di media sosial,
sebagian besar diisi oleh pengguna yang menganggap bahwa komentar Lowkey hanyalah
bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah Israel—bukan anti-Semitisme.
Namun, tak sedikit pula yang melihat aksi tersebut
sebagai provokasi berbahaya yang justru mempertegang suasana.
Pihak Community
Security Trust, sebuah organisasi perlindungan warga Yahudi di Inggris,
meminta pihak penyelenggara untuk tidak memberikan ruang bagi “propaganda
kebencian.”
Glastonbury: Festival Musik atau Panggung Politik?
Sejak kelahirannya pada 1970, Glastonbury telah menjadi
ajang yang tak hanya menyatukan genre musik, namun juga menyuarakan nilai
kemanusiaan dan lingkungan. Tapi tahun ini, pertunjukan musik menjadi panggung
pernyataan geopolitik.
Penyelenggara Glastonbury hingga kini belum mengeluarkan
pernyataan resmi, meski laporan menyebut bahwa mereka tengah mengevaluasi
standar artistik dan keamanan untuk festival mendatang.
Yang jelas, festival ini secara tak langsung sedang
mempertanyakan ulang: sampai di mana batas antara kebebasan artistik dan
tanggung jawab sosial?
Siapa Sebenarnya Lowkey?
Lowkey, atau Kareem Dennis dalam nama aslinya, adalah rapper
berdarah campuran Irak-Inggris yang dikenal luas karena kritik sosial dan
politiknya dalam lagu-lagunya. Musiknya kerap mengangkat tema imperialisme,
kolonialisme, dan ketidakadilan internasional, menjadikannya figur penting
dalam ranah musik alternatif politik.
Ia bukan selebriti arus utama, tapi justru karena itulah
suaranya dianggap lebih "liar" dan bebas dari sensor arus utama
media. Kontroversi ini bisa dibilang bukan yang pertama untuknya—dan hampir
pasti bukan yang terakhir.
Apa Artinya Ini Semua Untuk Dunia Musik dan Politik
Indonesia?
Bagi pembaca Indonesia, kejadian ini menjadi pengingat
bahwa dunia hiburan kini tidak bisa terlepas dari dinamika politik
global. Musisi bukan cuma penghibur; mereka pembentuk narasi publik. Dan
kritikan terhadap negara seperti Israel bisa berdampak besar, baik secara
pribadi maupun hukum.
Dengan sentimen global terhadap isu Palestina yang semakin
memanas, komentar seperti milik Lowkey akan terus menjadi bahan bakar
perdebatan, tak hanya di London atau New York, tetapi juga di Jakarta atau
Yogyakarta.
Bisakah Musik Tetap Netral?
Glastonbury 2025 adalah pengingat bahwa netralitas dalam
musik hanyalah ilusi. Ketika dunia serba terhubung dan konflik geopolitik bisa
meledak lewat lirik lagu, para musisi harus bersiap jadi politisi—suka atau
tidak suka.
Pertanyaannya sekarang: apakah publik akan tetap mendukung
ekspresi bebas, atau justru akan menuntut kontrol lebih ketat karena ketakutan
akan kerusuhan sosial?
Dan kamu sendiri, sebagai penonton dan pendengar, di mana
kamu berdiri?
Komentar
Posting Komentar